Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana menyiapkan lokasi khusus untuk menampung pengungsi Rohingya guna memastikan mereka dapat hidup dengan aman tanpa mengganggu kenyamanan warga lokal. Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto mengungkapkan langkah ini sebagai respons atas situasi yang semakin mendesak, khususnya dengan meningkatnya jumlah pengungsi di beberapa wilayah Indonesia.
“Kami akan mencari lokasi yang sesuai, yang bisa menampung para pengungsi Rohingya tanpa mengganggu warga sekitar,” ujar Agus dalam pernyataannya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Agus juga menekankan pentingnya revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 yang mengatur penanganan pengungsi asing di Indonesia. Menurutnya, Perpres ini perlu disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan mendesak para pengungsi, mengingat Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 yang mendefinisikan hak dan kewajiban pengungsi serta negara yang memberikan perlindungan.
“Kondisi pengungsi Rohingya sangat sulit, dan ini menjadi persoalan kemanusiaan yang mendesak,” tambah Agus, sambil berharap agar revisi regulasi bisa segera dilaksanakan. Menurutnya, tanpa kebijakan yang tepat, para pengungsi berisiko terjebak dalam kondisi yang tidak layak, bahkan dalam beberapa kasus mengalami sakit atau kehilangan nyawa.
Dilema Pengungsi Rohingya di Aceh Selatan
Dalam rapat kerja Komisi XIII DPR bersama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, masalah pengungsi Rohingya menjadi salah satu fokus pembahasan. Anggota Komisi XIII DPR, Muslim Ayub, menyampaikan bahwa sampai 18 Oktober 2024, ada 152 pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh Selatan. Namun, masyarakat setempat menunjukkan keengganan untuk menampung para pengungsi ini, dan hal ini mengakibatkan mereka harus bertahan di laut selama beberapa hari sebelum akhirnya diizinkan mendarat.
Gambar Istimewa : kompas.com
“Warga lokal tidak bersedia menerima mereka karena berbagai alasan. Situasi ini menyulitkan para pengungsi dan juga pemerintah daerah,” kata Muslim.
Lebih lanjut, pemerintah daerah di Aceh Selatan memberikan tenggat waktu selama tiga minggu bagi para pengungsi untuk segera dipindahkan dari wilayah tersebut. Keputusan ini diambil untuk menjaga kenyamanan warga lokal sekaligus memastikan pengungsi dapat berada di tempat yang lebih layak.
Sindikat Suaka dan Permasalahan Eksploitasi
Selain masalah tempat penampungan, isu sindikat suaka juga menjadi perhatian serius dalam rapat ini. Sindikat ini memanfaatkan kondisi pengungsi yang putus asa dengan menawarkan pekerjaan palsu dan meminta mereka membayar uang hingga Rp 15 juta. Modus penipuan ini kerap membuat pengungsi semakin terjerat dalam kesulitan ekonomi dan sosial, dan memicu keprihatinan di kalangan anggota dewan.
“Kami menemukan adanya sindikat yang memanfaatkan kondisi pengungsi untuk keuntungan pribadi. Pemerintah harus segera bertindak untuk melindungi pengungsi dari eksploitasi semacam ini,” ungkap Muslim.
Dalam upaya mencari solusi, Muslim mengusulkan agar para pengungsi bisa dipindahkan ke tempat yang lebih aman dan terkelola, seperti Aceh Utara atau Medan, yang memiliki fasilitas pengungsian. Menurutnya, langkah ini dapat membantu mengurangi ketegangan dengan masyarakat lokal dan memberikan pengungsi lingkungan yang lebih aman.
Langkah-langkah Pemerintah dan Peran Masyarakat
Mengatasi persoalan pengungsi Rohingya memang tidak mudah, terutama mengingat tantangan sosial yang harus dihadapi di daerah-daerah yang menampung mereka. Namun, pemerintah berupaya mencari jalan keluar yang memadai bagi kedua belah pihak. Dengan menyiapkan lokasi pengungsian yang tepat, pemerintah berharap dapat menurunkan gesekan antara pengungsi dan warga lokal.
Langkah selanjutnya adalah revisi regulasi yang diharapkan dapat memperbaiki tata kelola pengungsi di Indonesia. Agus berharap kebijakan yang lebih jelas dan komprehensif dapat membantu pemerintah dalam menyeimbangkan antara memberikan perlindungan kepada pengungsi dan menjaga ketertiban sosial.