TransparanNews, Makassar – Rencana pembentukan kabinet 46 menteri oleh presiden terpilih Prabowo Subianto tengah menjadi sorotan dan memicu perdebatan panas, khususnya di kalangan ekonom. Salah satu yang angkat bicara adalah Prof. Marzuki, pakar ekonomi dari Universitas Hasanuddin, yang menyuarakan kekhawatirannya terkait dampak rencana tersebut terhadap stabilitas fiskal negara.
“Masalah terbesar terletak pada APBN yang sangat terbatas,” ungkap Prof. Marzuki. “Kondisi fiskal kita saat ini tidak memungkinkan untuk menampung beban tambahan dari 46 kementerian,” lanjutnya dengan tegas.
Gambar Istimewa : kulonprogokab.go.id
Ia menjelaskan bahwa APBN 2025 yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR mencapai angka Rp3.621,3 triliun. Namun, sejumlah besar dari anggaran tersebut sudah terikat pada berbagai kewajiban negara, seperti pembayaran utang dan transfer ke daerah, yang menyerap sebagian besar porsi APBN.
“Beban utang saja mencapai Rp1.000 triliun, ditambah transfer ke daerah sekitar Rp1.200 triliun. Itu belum termasuk anggaran program baru seperti makan gratis, yang diperkirakan menelan biaya hampir Rp400 triliun,” ujar Prof. Marzuki sambil menekankan pentingnya memperhitungkan seluruh pengeluaran ini.
Dengan komitmen-komitmen tersebut, sisa anggaran yang bisa digunakan untuk berbagai program lain hanya berkisar Rp1.000 triliun. Prof. Marzuki pun mempertanyakan kemampuan pemerintah dalam mengoptimalkan dana yang tersisa untuk menopang operasional 46 kementerian yang direncanakan.
“Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mendanai seluruh program yang telah disetujui bersama dengan DPR dengan anggaran yang terbatas ini?” tanyanya, menunjukkan keraguannya terhadap rencana tersebut.
Optimisme atau Beban Fiskal yang Baru?
Wacana mengenai pembentukan kabinet besar ini memang memiliki tujuan mulia, yakni untuk memperkuat kerja pemerintahan dan menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Namun, bagi para ekonom, kabinet 46 menteri justru bisa menjadi pisau bermata dua. Mereka mengingatkan bahwa perluasan struktur kabinet bisa menjadi beban baru bagi fiskal.
“Dengan tambahan kementerian, tentunya akan ada biaya operasional yang meningkat, mulai dari infrastruktur hingga gaji pegawai baru. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa memperburuk defisit anggaran kita,” terang Prof. Marzuki.
Ia juga menyebutkan pentingnya efisiensi dalam menjalankan pemerintahan. Menurutnya, meskipun tujuan dari rencana tersebut baik, pemerintah harus tetap memperhatikan kemampuan fiskal agar tidak terjerumus dalam krisis ekonomi yang lebih dalam.
“Efisiensi dan optimalisasi anggaran adalah kunci. Jangan sampai mimpi untuk memperbaiki perekonomian berubah menjadi bencana fiskal akibat keputusan yang kurang bijaksana,” lanjutnya.
Pilihan Strategis yang Menentukan Masa Depan
Bagi banyak pihak, pertanyaan besarnya adalah apakah rencana ini bisa menjadi solusi atau justru menambah masalah. Prof. Marzuki menekankan bahwa kabinet 46 menteri hanya akan menjadi efektif jika dibarengi dengan kebijakan fiskal yang ketat dan pengelolaan anggaran yang bijaksana.
“Kita harus ingat, program-program besar dan jumlah kementerian yang banyak harus sesuai dengan kemampuan APBN kita. Jika tidak, program yang sudah dijanjikan bisa terancam tidak terealisasi dengan baik,” katanya menegaskan.
Kekhawatiran yang disampaikan oleh Prof. Marzuki menjadi semacam peringatan bagi pemerintah baru untuk berhati-hati dalam mengambil langkah. Dengan tantangan ekonomi yang ada, kebijakan seperti kabinet 46 menteri bisa menjadi peluang atau bahkan ancaman bagi kondisi ekonomi Indonesia di masa depan.
Apakah kabinet 46 menteri akan menjadi mimpi indah atau justru bencana ekonomi bagi Indonesia? Pertanyaan ini masih menyisakan tanda tanya besar di benak masyarakat dan para pengamat ekonomi. Hanya waktu yang dapat memberikan jawabannya, sementara publik berharap bahwa pemerintah mampu memberikan solusi terbaik bagi kesejahteraan negara.
Dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan, langkah dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan sangat menentukan masa depan perekonomian Indonesia. Masyarakat tentu berharap agar setiap keputusan yang diambil benar-benar didasarkan pada perhitungan matang, bukan sekadar ambisi politik semata. Kabinet 46 menteri ini bisa menjadi babak baru dalam pemerintahan, namun bisa juga menjadi ujian berat bagi kemampuan manajemen anggaran negara.