TransparanNews, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan kesiapan sektor industri untuk memanfaatkan pasokan garam dalam negeri sebagai bahan baku utama. Namun, hal ini bergantung pada ketersediaan pasokan yang mencukupi kebutuhan industri sekaligus menjaga kualitas bahan baku tersebut.
“Sebenarnya, tanpa dipaksa pun industri ingin memanfaatkan garam dalam negeri. Mereka ingin mendapatkan bahan baku dari sumber lokal,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita, dalam pernyataan yang dikutip dari Antara.
Kualitas Garam Nasional Jadi Sorotan
Reni menggarisbawahi pentingnya kualitas garam nasional agar dapat memenuhi standar kebutuhan industri. Proses produksi garam dalam negeri harus mampu menjaga konsistensi mutu sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal oleh berbagai sektor industri.
Gambar Istimewa : bisnis.com
Di samping itu, Reni mengungkapkan bahwa Kemenperin menghadapi tantangan dalam pengelolaan kuota impor garam. Untuk tahun 2025, Kementerian Koordinator Pangan telah menetapkan kuota impor garam industri sebesar 1,7 juta ton. Kuota ini hanya dialokasikan untuk sektor industri chlor alkali plant (CAP), sementara sektor lain seperti farmasi dan kosmetik belum mendapatkan alokasi yang cukup.
Relaksasi Kuota Impor Garam untuk Sektor Non-CAP
Guna mengatasi kendala tersebut, Kemenperin berencana mengajukan relaksasi kuota impor garam untuk sektor industri di luar CAP. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama bagi industri farmasi yang membutuhkan bahan baku berkualitas tinggi.
“Industri farmasi, misalnya, jika ingin mengganti sumber bahan baku, mereka harus melalui proses perizinan ulang. Proses ini memakan waktu sementara kebutuhan bahan baku tetap harus tersedia secara berkelanjutan,” jelas Reni.
Dampak Kelangkaan Garam pada Industri
Kelangkaan garam dikhawatirkan dapat memengaruhi stabilitas sektor industri secara keseluruhan. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyoroti potensi dampak luas dari kelangkaan garam terhadap produksi dan lapangan kerja.
“Jika terjadi kelangkaan, maka suplai untuk industri tidak akan mencukupi. Hal ini dapat berdampak serius pada keberlangsungan produksi industri manufaktur yang menjadi salah satu penyumbang terbesar penciptaan lapangan kerja,” ujar Faisal.
Faisal menyarankan agar pemerintah meningkatkan produksi garam domestik untuk mendukung kebutuhan industri. Namun, ia juga mengingatkan bahwa pemaksaan program swasembada garam tanpa mempertimbangkan kapasitas produksi aktual dapat berakibat fatal.
“Pemerintah perlu berhati-hati. Jika suplai tidak mencukupi tetapi tetap dipaksakan, produksi industri bisa terganggu. Dampaknya akan jauh lebih besar, terutama dalam aspek lapangan pekerjaan,” tambahnya.
Peningkatan Produksi Garam Domestik sebagai Solusi
Langkah strategis yang diusulkan adalah meningkatkan kapasitas produksi garam domestik melalui modernisasi teknologi dan pelibatan petani garam lokal. Dukungan pemerintah dalam bentuk pelatihan dan penyediaan infrastruktur juga menjadi kunci untuk memastikan kualitas dan kuantitas garam nasional.
Selain itu, sinergi antara pemerintah dan sektor industri diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung keberlanjutan produksi garam dalam negeri. Dengan demikian, kebutuhan industri dapat terpenuhi tanpa harus bergantung secara signifikan pada impor.
Kemenperin bersama berbagai pihak terkait perlu berkolaborasi untuk memastikan pasokan garam dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan industri. Tidak hanya dari sisi kuantitas, tetapi juga kualitas bahan baku yang harus tetap terjaga. Kebijakan yang fleksibel namun tetap strategis, seperti relaksasi kuota impor dan peningkatan produksi garam domestik, menjadi solusi penting untuk mendukung pertumbuhan sektor industri di Indonesia.
Dengan pendekatan yang tepat, sektor industri diharapkan dapat memanfaatkan potensi besar dari garam lokal sambil tetap menjaga keberlanjutan ekonomi nasional.