TransparanNews, China kembali menjadi sorotan dunia setelah mengumumkan proposal kebijakan baru yang memperketat pembatasan ekspor teknologi terkait baterai kendaraan listrik (EV) dan pemrosesan mineral kritis. Langkah ini dianggap akan mengancam stabilitas rantai pasok global di tengah persaingan geopolitik yang semakin intens, khususnya antara Beijing dan Washington.
Kebijakan Baru yang Diperketat
Pada 2 Januari 2025, Kementerian Perdagangan China mengajukan dokumen yang memperluas kontrol atas teknologi dan proses yang digunakan dalam mengekstraksi mineral seperti litium dan galium metalik. Teknologi terkait bahan elektroda baterai juga direncanakan masuk ke dalam daftar kontrol ekspor baru.
Gambar Istimewa : bekasi-hyundai.com
Menurut dokumen tersebut, kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat pengawasan atas impor dan ekspor teknologi, sejalan dengan kebutuhan domestik China. Namun, pemerintah belum menetapkan waktu penerapan kebijakan tersebut dan masih membuka ruang konsultasi publik hingga 1 Februari.
Dominasi China di Pasar Global
China memegang posisi dominan dalam pemrosesan mineral kritis, termasuk litium, yang merupakan komponen utama dalam baterai kendaraan listrik. Menurut Benchmark Mineral Intelligence, China mengendalikan 70% dari kapasitas pemrosesan global litium. Proposal baru ini dinilai sebagai strategi mempertahankan cengkeraman tersebut.
“Langkah ini akan membantu China mengamankan produksi kimia litium untuk memenuhi kebutuhan rantai pasok baterai domestiknya,” ungkap Adam Webb, Kepala Bahan Baku Baterai di Benchmark Mineral Intelligence.
Implikasi Global: Keamanan hingga Lingkungan
Ketergantungan dunia, khususnya Amerika Serikat, pada impor mineral kritis dari China menimbulkan risiko strategis. Sebuah analisis oleh Silverado Policy Accelerator mengungkapkan bahwa AS sepenuhnya bergantung pada China untuk sembilan mineral kritis yang dapat berdampak signifikan pada keamanan nasional jika pasokan terganggu.
Di sisi lain, kontrol rantai pasok yang ketat oleh Partai Komunis China (PKC) menimbulkan kekhawatiran etis dan lingkungan. Beberapa laporan mengungkapkan praktik kerja paksa dalam proses penambangan serta pencemaran lingkungan akibat pelepasan bahan kimia beracun.
Respon Amerika Serikat
Ketegangan ini semakin diperburuk oleh larangan ekspor baru-baru ini yang diberlakukan Beijing terhadap galium, germanium, antimon, dan bahan super keras—logam yang dinilai penting oleh Departemen Dalam Negeri AS. Larangan tersebut diumumkan hanya sehari setelah AS memperketat pembatasan akses China ke semikonduktor canggih, menandai peningkatan konflik perdagangan kedua negara.
Rep. John Moolenaar, Ketua Komite Khusus DPR AS tentang PKC, menyatakan, “PKC menggunakan perdagangan sebagai senjata untuk menekan Amerika Serikat. Ketergantungan kita pada impor dari China harus segera dikurangi.”
Pandangan Analis
Analis dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) memperingatkan bahwa kontrol ekspor China tidak hanya bersifat simbolis. China menguasai banyak komoditas lain yang dapat menjadi alat tekanan dalam kebijakan perdagangan global.
“Kebijakan ini kemungkinan akan diperketat lebih lanjut, terutama dengan pemerintahan baru AS yang memiliki kebijakan tarif ambisius dan sejarah perang dagang,” ungkap laporan CSIS.
Dampak pada Masa Depan
Jika kebijakan baru ini diberlakukan, industri kendaraan listrik dunia akan menghadapi tantangan besar, termasuk lonjakan harga dan gangguan rantai pasok. Negara-negara seperti Amerika Serikat perlu segera mencari alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada China dan memperkuat rantai pasok mineral kritis secara mandiri.
Dalam konteks geopolitik yang memanas, keputusan Beijing ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga strategi untuk memperkuat dominasi di sektor teknologi dan energi bersih. Dunia kini menantikan langkah berikutnya dari dua ekonomi terbesar ini, yang jelas akan berdampak pada masa depan teknologi hijau dan stabilitas perdagangan global.