TransparanNews, Tangerang – Polemik terkait pagar laut misterius di Kabupaten Tangerang, Banten, terus menjadi sorotan publik. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, memberikan tanggapan atas isu yang telah menimbulkan berbagai spekulasi tersebut.
Menurut Nusron, hingga saat ini, Kementerian ATR/BPN belum memiliki kewenangan untuk menangani persoalan pagar laut karena area yang dimaksud masih berada di wilayah lautan. “Selama masih di laut, itu adalah rezimnya laut. Kalau di darat, tergantung apakah masuk kawasan hutan atau bukan. Kalau hutan, itu menjadi kewenangan kehutanan, kalau bukan hutan, ya itu menjadi kewenangan kami,” jelas Nusron, Minggu (19/1/2025), seperti dilansir dari laman resmi Kementerian ATR/BPN.
Gambar Istimewa : atrbpn.go.id
Nusron juga menegaskan bahwa belum ada laporan resmi atau informasi terkait masalah tersebut yang diterima oleh pihaknya. Oleh karena itu, intervensi dari Kementerian ATR/BPN belum dapat dilakukan. “Mungkin yang Bapak-Bapak tanyakan itu masih sebatas dugaan. Namun, hingga saat ini belum ada laporan resmi kepada kami. Pemerintah hanya dapat bertindak atas dasar legal standing. Jadi, selama belum ada dasar hukum yang jelas, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.
Kerugian Nelayan Akibat Pagar Laut
Sementara itu, Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Mokhammad Najih, mengungkapkan adanya kerugian signifikan yang dialami nelayan akibat keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang. Menurutnya, kerugian tersebut diperkirakan mencapai Rp9 miliar.
“Itu masih merupakan estimasi kasar yang dihitung berdasarkan keluhan para nelayan,” kata Najih, Kamis (16/1/2025), sebagaimana dilaporkan oleh Antaranews. Ia menjelaskan bahwa kerugian ini terjadi karena nelayan harus menempuh jarak tambahan untuk melaut.
“Dengan adanya pagar laut itu, nelayan harus memutar kurang lebih 30 kilometer. Akibatnya, konsumsi bahan bakar mereka meningkat dari sekitar satu liter menjadi tiga liter untuk perjalanan yang sama,” terangnya.
Najih menambahkan bahwa penghitungan ini dilakukan dengan mempertimbangkan dampak langsung terhadap biaya operasional nelayan. Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa angka tersebut masih bersifat sementara dan dapat berubah seiring dengan investigasi lebih lanjut.
Desakan untuk Penyelidikan Lebih Lanjut
Keberadaan pagar laut yang diduga menjadi penyebab kerugian nelayan ini telah memicu berbagai reaksi. Banyak pihak mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi mendalam guna mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar tersebut.
Salah satu nelayan yang enggan disebutkan namanya mengaku kesulitan mencari nafkah sejak pagar laut itu berdiri. “Kami harus memutar jauh, sementara hasil tangkapan tidak seberapa. Biaya bahan bakar jadi dua kali lipat lebih banyak. Ini sangat memberatkan,” keluhnya.
Masyarakat dan aktivis lingkungan juga menyuarakan kekhawatiran mereka atas dampak ekologis yang mungkin ditimbulkan oleh pagar laut ini. Menurut mereka, pagar tersebut tidak hanya merugikan nelayan secara ekonomi tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem laut.
Pemerintah Diminta Segera Bertindak
Polemik ini menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih baik antara kementerian dan lembaga terkait. Selain itu, transparansi dan komunikasi yang jelas dengan masyarakat menjadi hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman.
Pemerintah pusat diharapkan dapat memberikan perhatian serius terhadap isu ini. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan polemik pagar laut di Kabupaten Tangerang dapat diselesaikan secara adil dan tidak merugikan pihak mana pun.
Masyarakat kini menunggu tindak lanjut dari pihak berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk memberikan kejelasan dan solusi atas permasalahan yang tengah berkembang. Akankah polemik ini segera berakhir? Publik tentu berharap solusi terbaik demi kesejahteraan semua pihak yang terdampak.