TransparanNews, Jakarta – Wacana mengenai perubahan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4% kembali menjadi topik hangat di tengah perdebatan politik nasional. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ahmad Muzani, secara tegas menyatakan bahwa aturan yang sudah ditetapkan sebaiknya tidak diubah untuk menjaga stabilitas dan menghindari kebingungan di masyarakat.
Gambar Istimewa : kompas.com
“Kami berharap apa yang sekarang sudah diputuskan, yakni parliamentary threshold 4%, tetap dipertahankan. Jangan ubah-ubah, karena nanti malah membingungkan,” ujar Muzani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (14/1/2025).
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas usulan perubahan ambang batas yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Sebagai salah satu politikus senior, Yusril sebelumnya mengusulkan penghapusan atau penyesuaian angka ambang batas ini untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada partai-partai kecil agar dapat lolos ke parlemen.
Pentingnya Konsistensi Aturan
Menurut Muzani, mempertahankan ambang batas parlemen di angka 4% merupakan langkah yang paling bijak saat ini. Hal ini dinilai penting untuk memberikan kepastian hukum dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi yang berlaku. Muzani menegaskan bahwa segala kemungkinan perubahan aturan harus melalui pertimbangan matang dan tidak dilakukan secara tergesa-gesa.
“Sampai sekarang, parliamentary threshold tetap 4%. Jadi, kita masih berpegang pada apa yang berlaku saat ini. Tidak perlu berspekulasi tentang kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi,” jelas Sekretaris Jenderal Partai Gerindra itu.
Ia juga menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum melakukan pembahasan resmi terkait perubahan ambang batas parlemen. DPR masih mengacu pada aturan yang telah disepakati bersama dalam undang-undang pemilu.
“DPR masih berpegang pada ketentuan formal. Apa yang sudah disepakati, itulah yang dijalankan,” tambahnya.
Pro dan Kontra di Kalangan Politikus
Isu perubahan parliamentary threshold ini memicu respons beragam dari berbagai pihak. Pendukung usulan Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa ambang batas yang tinggi cenderung menyulitkan partai-partai kecil untuk mendapatkan kursi di parlemen. Sebaliknya, pihak yang mendukung aturan saat ini, seperti Ahmad Muzani, menganggap bahwa angka 4% sudah ideal untuk menjaga stabilitas politik dan mengurangi fragmentasi di DPR.
Sistem ambang batas parlemen pertama kali diterapkan untuk memastikan bahwa hanya partai-partai dengan basis dukungan signifikan yang dapat masuk ke DPR. Namun, kritik terhadap sistem ini sering kali muncul karena dianggap menghambat demokrasi yang inklusif.
Dampak Jika Ambang Batas Diubah
Jika ambang batas parlemen diturunkan atau dihapus, ada kemungkinan jumlah partai yang masuk ke DPR akan bertambah. Hal ini dapat memperluas representasi politik, tetapi juga berpotensi menimbulkan tantangan baru, seperti sulitnya mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan.
Sebaliknya, mempertahankan ambang batas 4% dianggap sebagai solusi kompromi yang menjaga keseimbangan antara efisiensi dan representasi dalam sistem demokrasi. “Jangan sampai perubahan aturan ini justru melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi kita,” tegas Muzani.
Hingga saat ini, perdebatan terkait ambang batas parlemen masih berlangsung tanpa keputusan pasti. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan, keputusan akhir mengenai perubahan atau tidaknya ambang batas ini memerlukan kajian yang mendalam dan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Parliamentary threshold sebesar 4% mungkin tetap menjadi isu krusial dalam dinamika politik Indonesia, tetapi yang terpenting adalah bagaimana aturan tersebut dapat mendukung kemajuan demokrasi tanpa mengorbankan stabilitas dan kepastian hukum yang sudah ada.