Jakarta – Kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan Dana Hibah untuk kelompok masyarakat di Provinsi Jawa Timur kembali menjadi sorotan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Achmad Iskandar, mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, pada Rabu (23/10). Pemanggilan ini terkait dengan dugaan rasuah yang melibatkan anggaran Dana Hibah dari APBD Provinsi Jawa Timur untuk tahun anggaran 2021-2022.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, mengonfirmasi bahwa pemeriksaan terhadap Achmad Iskandar dilakukan di kantor BPKP Perwakilan Provinsi Jatim. “Pemeriksaan dilakukan terkait dengan pengurusan Dana Hibah Jatim,” ujarnya.
Selain Achmad Iskandar, KPK juga memanggil sepuluh saksi lainnya yang terdiri dari beberapa pejabat dan pihak swasta. Di antara mereka yang dipanggil adalah Bagus Wahyudyono, staf Sekretariat DPRD Jatim periode 2019-2024, dan empat orang dari sektor swasta, yaitu Ahmad Affandy, RA Wahid Ruslan, Ahmad Heriyadi, dan Achmad Yahya.
Pengembangan Kasus Dana Hibah Jatim
Pemanggilan Achmad Iskandar dan para saksi lainnya merupakan bagian dari pengembangan kasus besar yang telah menjerat Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua P. Simandjuntak. Kasus ini bermula dari dugaan suap dalam pengelolaan Dana Hibah di Jawa Timur yang melibatkan banyak pihak, termasuk para pejabat negara dan pihak swasta.
Gambar Istimewa : kempalan.com
Hingga saat ini, KPK telah menetapkan 21 orang tersangka dalam kasus tersebut. Dari jumlah itu, empat orang diduga sebagai penerima suap, sementara 17 lainnya adalah pemberi suap. Di antara empat tersangka penerima suap, tiga di antaranya merupakan pejabat negara, sedangkan satu lainnya adalah staf pejabat negara.
Sementara itu, dari 17 tersangka pemberi suap, mayoritas berasal dari kalangan swasta, tepatnya sebanyak 15 orang, dan dua orang lainnya merupakan penyelenggara negara. Pemberian suap ini terkait pengelolaan Dana Hibah yang dialokasikan untuk berbagai kelompok masyarakat di Provinsi Jawa Timur.
Peran Kunci Dana Hibah dalam Pembangunan
Dana Hibah yang dikeluarkan dari APBD Provinsi Jawa Timur seharusnya digunakan untuk mendukung program-program pembangunan yang dikelola oleh kelompok masyarakat (pokmas). Hibah ini biasanya disalurkan untuk membantu pendanaan berbagai proyek sosial, pembangunan infrastruktur lokal, hingga pengembangan ekonomi di berbagai wilayah di Jawa Timur.
Namun, dalam praktiknya, pengelolaan Dana Hibah kerap kali disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk meraup keuntungan pribadi. Kasus ini menunjukkan bagaimana proses alokasi dan distribusi dana publik sering kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu, baik dari sektor swasta maupun pejabat pemerintahan, untuk kepentingan koruptif.
Dugaan Suap dan Praktik Rasuah
Dalam kasus Dana Hibah Jatim, KPK menduga adanya praktik suap yang melibatkan sejumlah pihak dengan tujuan untuk memperlancar proses pengurusan Dana Hibah yang akan diberikan kepada kelompok masyarakat. Suap ini diduga diberikan oleh pihak swasta kepada pejabat negara untuk memastikan bahwa dana hibah tersebut bisa cair dan dialokasikan sesuai keinginan pemberi suap.
Proses ini biasanya melibatkan beberapa tahap, mulai dari persetujuan di tingkat legislatif hingga eksekusi oleh eksekutif. Di sinilah peran penting para pejabat DPRD Jatim yang memiliki kewenangan dalam menyetujui alokasi anggaran dan memberikan rekomendasi terhadap penerima dana hibah.
Namun, alih-alih mendistribusikan dana hibah sesuai peruntukannya, beberapa pejabat justru memanfaatkan posisinya untuk memungut fee atau komisi dari para pemohon dana hibah. Uang hasil suap tersebut kemudian disalurkan ke oknum-oknum terkait sebagai kompensasi atas jasa mereka dalam meloloskan pengajuan dana hibah.
Komitmen KPK dalam Pemberantasan Korupsi
KPK terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi di Indonesia, termasuk di tingkat daerah. Kasus Dana Hibah Jatim ini menjadi salah satu contoh bagaimana KPK tidak ragu untuk menindak para pejabat tinggi yang terlibat dalam praktik rasuah.
“Kami akan terus mengembangkan kasus ini dan melakukan pemanggilan terhadap siapa pun yang terkait, termasuk pejabat dan pihak swasta yang terlibat,” ujar Tessa Mahardhika.
Selain itu, KPK juga berkomitmen untuk mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan korupsi ini. Diperkirakan, nilai kerugian yang ditimbulkan dari kasus Dana Hibah Jatim cukup signifikan, mengingat dana tersebut seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk memperkaya individu atau kelompok tertentu.