TransparanNews, SEATTLE – Industri penerbangan global kembali diguncang kabar mengejutkan setelah raksasa manufaktur pesawat, Boeing, mengumumkan keputusan drastis untuk memangkas 17.000 karyawan. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk menekan kerugian yang kian meningkat, yang sebagian besar disebabkan oleh aksi mogok besar-besaran para pekerja.
Sejak 13 September 2024, sekitar 30.000 pekerja mesin yang tergabung dalam Asosiasi Internasional Pekerja Mesin dan Pekerja Dirgantara (IAM) menghentikan pekerjaan mereka. Aksi mogok ini telah melumpuhkan sebagian besar operasi produksi di pabrik Boeing, terutama dalam proyek pengembangan pesawat 777X, yang peluncurannya kini terpaksa ditunda hingga tahun 2026. Penundaan ini tentunya menambah tekanan finansial yang sudah berat bagi Boeing.
Krisis Finansial: Kerugian Mencapai Rp20 Triliun
Dalam laporan keuangannya, Boeing memperkirakan kerugian mencapai USD1,3 miliar, atau setara dengan Rp20,14 triliun (kurs Rp15.492 per USD) untuk kuartal ini. Kerugian ini sebagian besar dipicu oleh biaya operasional tinggi yang terus berjalan meski produksi terhenti akibat mogok kerja. Kondisi ini memperburuk situasi keuangan Boeing yang sudah goyah setelah serangkaian masalah teknis dan penundaan sebelumnya.
Gambar Istimewa :static.poder360.com.br
Dalam sebuah pernyataan resmi yang disampaikan pada Senin, 14 Oktober 2024, CEO Boeing, Kelly Ortberg, menekankan bahwa tantangan yang dihadapi perusahaannya saat ini sangat berat. “Bisnis kami berada dalam posisi sulit, dan kami harus membuat keputusan yang berat untuk memastikan kelangsungan jangka panjang Boeing. Ini termasuk pengurangan tenaga kerja yang menyakitkan, namun penting, serta perubahan struktural agar kami tetap dapat bersaing di pasar global,” ujar Ortberg.
Ortberg menambahkan bahwa aksi mogok telah memberikan pukulan signifikan bagi Boeing, namun dia tetap optimis bahwa perusahaan dapat bangkit jika langkah-langkah reformasi dilakukan secara tepat.
Mogok Pekerja: Tuntutan Upah dan Kondisi Kerja
Aksi mogok ini bermula dari ketidakpuasan pekerja terhadap kesepakatan kontrak yang diajukan Boeing. Para pekerja, yang tergabung dalam IAM, menolak kontrak tersebut karena dianggap tidak memenuhi tuntutan kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Mereka menuntut adanya penyesuaian gaji yang lebih sesuai dengan biaya hidup yang terus meningkat serta perbaikan dalam kondisi keselamatan kerja di pabrik.
Boeing sebenarnya telah melakukan beberapa upaya negosiasi dengan serikat pekerja, namun hingga kini belum tercapai kesepakatan. Pihak serikat menilai bahwa Boeing tidak bersedia memenuhi tuntutan mereka, meskipun keuntungan perusahaan pada masa lalu cukup besar.
Dampak Global: Penundaan Peluncuran Pesawat 777X
Salah satu dampak langsung dari aksi mogok ini adalah penundaan peluncuran pesawat berbadan lebar 777X, yang awalnya dijadwalkan terbang pada tahun 2025. Kini, dengan terhentinya sebagian besar produksi, peluncuran tersebut harus diundur hingga tahun 2026. Penundaan ini memberikan dampak besar, terutama bagi maskapai penerbangan yang telah memesan pesawat tersebut untuk memperkuat armada mereka.
Pesawat 777X merupakan salah satu proyek unggulan Boeing yang diharapkan dapat bersaing dengan produk dari Airbus, khususnya di pasar pesawat berbadan lebar yang mampu menempuh jarak jauh dengan kapasitas penumpang lebih besar. Namun, dengan penundaan ini, Boeing bisa kehilangan momentum pasar dan menghadapi persaingan yang semakin ketat dari rival-rivalnya.
PHK Massal: Dampak Terhadap Karyawan dan Ekonomi Lokal
Keputusan Boeing untuk mem-PHK 17.000 karyawan menimbulkan kekhawatiran besar, terutama di kalangan pekerja dan komunitas lokal yang bergantung pada keberadaan perusahaan ini. Pengurangan tenaga kerja dalam jumlah besar ini tidak hanya akan memengaruhi kehidupan ribuan karyawan, tetapi juga berdampak pada ekonomi lokal di wilayah di mana pabrik Boeing beroperasi, seperti di Seattle, yang menjadi pusat manufaktur pesawat terbesar di dunia.
Kebijakan PHK ini juga dapat memengaruhi semangat kerja karyawan yang tersisa, yang mungkin merasa tidak aman dengan masa depan mereka di perusahaan. Hal ini bisa memicu lebih banyak ketidakpuasan dan mengganggu kinerja perusahaan secara keseluruhan.