TransparanNews, Polemik terkait pernyataan Ridwan Kamil (RK) soal rencana pemindahan Balai Kota Jakarta ke Jakarta Utara kembali mencuat dalam debat ketiga pemilihan gubernur DKI Jakarta. Calon gubernur nomor urut 1 ini memberikan klarifikasi setelah Pramono Anung, calon gubernur nomor urut 3, mengangkat isu tersebut, yang dianggap membingungkan masyarakat.
“Mas Pram itu hobinya menyederhanakan istilah hingga publik jadi bingung. Padahal, konteks pernyataan saya soal pemindahan Balai Kota itu hanya sebagai perumpamaan,” ujar RK saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (19/11/2024).
Desentralisasi Pemerintahan untuk Mengurai Kemacetan
RK menjelaskan bahwa Jakarta kerap menghadapi masalah serius berupa kemacetan yang dipicu oleh tata ruang yang terlalu terpusat di Jakarta Pusat. Menurutnya, solusi jangka panjang perlu dilakukan dengan cara mendistribusikan beban pemerintahan ke wilayah lain di Jakarta.
Gambar Istimewa : kompas.com
“Masalahnya adalah Jakarta terlalu terpusat. Kegiatan pemerintahan mayoritas ada di Jakarta Pusat, dan ini memperparah kemacetan. Untuk mengurangi beban tersebut, ada gagasan memindahkan beberapa fungsi pemerintahan ke Jakarta Utara,” jelas RK.
RK menambahkan bahwa kawasan Ancol, yang memiliki lahan seluas 200 hektare, bisa menjadi pusat pemerintahan baru. Kawasan ini dirancang menyerupai kawasan SCBD, tetapi khusus untuk kantor-kantor pemerintahan dan BUMD.
Pemindahan Balai Kota Bukan Sebuah Kepastian
Meski wacana ini ramai dibicarakan, RK menegaskan bahwa pemindahan Balai Kota ke Jakarta Utara belum tentu dilakukan. “Balai Kota sebagai simbol belum tentu pindah. Yang dimaksud adalah kantor-kantor dinas dan BUMD bisa dikonsolidasi di satu kawasan baru, agar lebih efisien,” paparnya.
RK juga menekankan bahwa isu ini seharusnya tidak dipahami secara harfiah. “Jangan semua disederhanakan hanya soal Balai Kota. Ini tentang pemerataan tata ruang dan efisiensi kerja pemerintahan,” tambahnya.
Optimalisasi Lahan untuk Hunian Warga
Selain itu, RK memiliki rencana untuk memanfaatkan lahan-lahan pemerintah yang kosong di Jakarta Pusat sebagai hunian vertikal. Ia menyebut langkah ini sebagai bagian dari solusi atas krisis perumahan di Jakarta.
“Lahan-lahan kosong yang sebelumnya digunakan untuk kantor pemerintahan bisa kita manfaatkan untuk membangun hunian. Jadi, ketika pusat pemerintahan pindah, lahan ini akan diubah menjadi fasilitas yang lebih berguna untuk warga,” jelas RK.
RK bahkan menyindir Pramono yang sebelumnya sempat mengeluhkan minimnya lahan untuk hunian, namun kini justru menolak gagasan tersebut. “Ini kan aneh. Mas Pram bilang butuh lahan buat hunian, tapi ketika saya siapkan solusi, malah ditolak. Artinya, Mas Pram tidak konsisten,” tandas RK.
Sinergi Tata Ruang untuk Jakarta yang Lebih Baik
RK menyadari bahwa wacana desentralisasi pemerintahan ini menuai pro dan kontra. Namun, ia percaya langkah tersebut dapat menjadi solusi atas masalah ketimpangan tata ruang dan kemacetan Jakarta.
“Ini bukan soal pemindahan simbol Balai Kota, tetapi soal bagaimana kita bisa membuat Jakarta lebih terintegrasi, efisien, dan nyaman untuk ditinggali,” tutupnya.
Kesimpulan
Klarifikasi RK menegaskan bahwa isu pemindahan Balai Kota ke Jakarta Utara hanyalah perumpamaan untuk mendukung konsep desentralisasi pemerintahan. Fokus utamanya adalah pemerataan tata ruang dan pengurangan beban di Jakarta Pusat. Wacana ini diharapkan mampu menciptakan Jakarta yang lebih seimbang dalam hal infrastruktur, hunian, dan tata kelola pemerintahan.