Giring menyatakan bahwa sistem subak kini tengah berada dalam tekanan dari berbagai faktor, seperti penurunan sumber air, menyempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan, serta ancaman bencana alam yang terus meningkat. “Tantangan ini mengingatkan kami akan pentingnya regenerasi petani dan inovasi pertanian untuk menjaga kelestarian subak, kesejahteraan desa, serta budaya lokal yang mengelilingi sistem pertanian ini,” ujarnya dalam pernyataan yang dikutip dari kantor berita Antara.
Festival Spirit Subak sebagai Bentuk Pelestarian
Untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh subak, Giring menginisiasi Subak Spirit Festival, sebuah festival yang pertama kali diadakan dengan tujuan menarik minat generasi muda terhadap kearifan lokal. Melalui festival ini, pendekatan holistik diterapkan untuk menggali potensi dan nilai budaya subak. Subak Spirit Festival menghadirkan tujuh ruang aktivasi utama: budaya, ekologi, pengetahuan, gastronomi, olahraga, pertunjukan, dan publikasi. Pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat, terutama kalangan muda, terhadap nilai luhur subak.
Gambar Istimewa : tribunnews.com
“Festival ini adalah panggilan kepada generasi muda untuk kembali kepada nilai kearifan lokal, memahami dan memelihara budaya mereka dengan rasa bangga,” ungkap Giring. Menurutnya, subak bukan hanya sekadar sistem irigasi, tetapi juga warisan budaya yang membawa filosofi hidup yang harmonis dan mendalam bagi masyarakat Bali.
Sinergi Antara Subak dan Pariwisata
Di tengah pesatnya perkembangan pariwisata di Bali, Giring mengakui pentingnya sinergi antara subak sebagai pertanian berkelanjutan dengan sektor pariwisata yang menjadi penopang utama ekonomi Bali. Salah satu langkah strategis yang diusulkan adalah mengintegrasikan subak dalam industri pariwisata untuk menarik perhatian wisatawan terhadap kekayaan budaya lokal sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
“Langkah-langkah kolaboratif ini akan segera saya bicarakan dengan Kementerian Pariwisata,” ungkap Giring, menegaskan bahwa subak harus menjadi bagian dari paket wisata yang menawarkan pengalaman edukatif kepada wisatawan. Pendekatan ini diyakini tidak hanya akan memperkuat ekonomi lokal, tetapi juga meningkatkan apresiasi terhadap budaya dan lingkungan alam Bali.
Subak dan Filosofi Tri Hita Karana
Lebih dari sekadar sistem pengairan, subak mencerminkan filosofi Tri Hita Karana, sebuah konsep harmoni yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Filosofi ini menjadi dasar dari setiap aktivitas masyarakat Bali yang hidup berdampingan dengan alam. Giring menjelaskan bahwa melalui filosofi Tri Hita Karana, subak menjadi jembatan yang menyatukan ketiga elemen tersebut, menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat Bali yang berbasis pada kearifan lokal.
Subak juga memiliki nilai universal yang relevan dengan visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menciptakan kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Sebagai warisan leluhur yang memiliki nilai sosial, spiritual, dan ekologis, subak dianggap mampu menjadi model pertanian berkelanjutan yang bisa diterapkan di daerah lain di Indonesia.
Tantangan Masa Depan dan Upaya Pelestarian
Namun, tantangan pelestarian subak masih sangat kompleks. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan atau komersial telah mempersempit lahan subak di banyak wilayah di Bali. Selain itu, perubahan iklim juga berdampak signifikan terhadap ketersediaan air, yang merupakan komponen utama dalam sistem subak.
Giring mengungkapkan bahwa perlu adanya perhatian dan dukungan dari berbagai pihak untuk mempertahankan keberlanjutan subak. Salah satu solusi yang diajukan adalah dengan mengadopsi teknologi yang dapat membantu pengelolaan air dan irigasi yang lebih efisien tanpa merusak ekosistem yang sudah ada. Selain itu, peningkatan kapasitas dan edukasi bagi para petani muda juga menjadi prioritas agar generasi penerus tetap tertarik pada profesi ini.
“Regenerasi petani menjadi kunci dalam mempertahankan subak, karena tanpa adanya minat dari generasi muda, subak bisa kehilangan pelaksana dan penjaganya,” ujar Giring. Oleh karena itu, upaya kolaboratif yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat lokal, dan wisatawan diharapkan dapat memperkuat posisi subak dalam menghadapi dinamika pembangunan.